Resensi Jurnal
Oleh: Gabriel Ivo Aveliano Kusuma Adi Valentino
Referensi
Shan Gui, Liange Zhao, dan Zhijian Zhang, “Does Municipal Solid Waste Generation in China Support the Environmental Kuznets Curve? New Evidence from Spatial Linkage Analysis”. Waste Management 84 (2019) 310-319. https://doi.org/10.1016/j.wasman.2018.12.006
1. Pendahuluan
Negara Tiongkok sebagai salah satu negara berkembang terbesar dengan kepadatan penduduk terbanyak tengah menghadapi dampak negatif dari cepatnya arus urbanisasi yang mengarah pada permasalahan yang semakin besar di sektor lingkungan. Proses urbanisasi ini mengakibatkan peningkatan signifikan dalam jumlah limbah padat yang dihasilkan sehingga berdampak besar pada tekanan terhadap sistem pengelolaan limbah perkotaan di sana.
Dengan total limbah padat yang belum diolah di Tiongkok mencapai 6 miliar ton, banyak kota yang kemudian “terjebak” dalam masalah limbah serius. Figur 1 kemudian menunjukkan bukti bahwa nilai total limpah padat serta pertumbuhannya cenderung berfluktuasi dengan kecenderungan tren yang semakin meningkat.
Figur 1. Jumlah dari Total Limbah Padat Perkotaan di Tiongkok (2001-2016)
Sumber: Shan Gui et al (2018)
Selain itu, faktor lain juga mempengaruhi limbah di perkotaan Tiongkok dari segi aspek proses pengumpulan, transportasi, maupun pembuangan limbah, serta tekanan yang dihadapi oleh manajemen pengelola limbah yang semakin berat. Faktor penyebab meningkatnya produksi limbah antara lain ialah urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan gaya hidup.
Terlebih, transformasi struktural ekonomi Tiongkok juga turut berkontribusi pada polusi perkotaan. Adapun dari beberapa data menunjukkan bahwa sumber polusi utama tidak lagi berasal dari sektor industri sekitar, tetapi dari konsumsi harian penduduk lokal. Sebaba, lingkungan hidup perkotaan yang bersih bukan hanya terkait dengan kebutuhan hidup, tetapi juga terkait dengan kebutuhan ekonomi.
Produksi limbah padat yang terus meningkat dan skala urbanisasi yang meluas ini turut memberikan tekanan besar pada kapasitas keterbatasan manajemen limbah. Akibatnya, banyak kota besar mengalihkan limbah ke kota tetangga dengan alasan regulasi pengelolaan limbah di wilayah tetangga yang lebih longgar.
1.1 Pentingnya Analisis Limbah Padat Perkotaan dengan Mempertimbangkan Aspek Spasial
Fenomena “Kota Terjebak Sampah” menjadi dilema yang dihadapi banyak kota besar. Isu pengelolaan limbah padat perkotaan menarik perhatian publik berkaitan dengan karakteristik ganda, yakni aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dalam konteks barang publik, individu dan rumah tangga memiliki keterbatasan dana dalam kaitannya dengan penyediaan lingkungan perkotaan yang bersih. Terlebih, mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk mengurangi emisi serta penyebaran produksi limbah padat perkotaan.
Sebagian besar penelitian sebelumnya menekankan fokus pada tingkat individu dan rumah tangga, mengabaikan interaksi faktor sosial ekonomi dan karakteristik spasial dari berbagai wilayah. Akan tetapi, studi ini juga mencermati dampak limbah padat perkotaan dengan mempertimbangkan relevansi dan heterogenitas antarkota, dampak investasi kota, tingkat pendidikan, konsumsi, transportasi, dan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan analisis ekonometrika spasial dipakai untuk mengkaji pula dampak dari variabel-variabel tersebut dalam kerangka analisis Environmental Kuznets Curve (EKC).
1.2 Pembuktian Environmental Kuznets Curve (EKC)
Environmental Kuznets Curve (EKC) merupakan kerangka analisis empiris yang menggambarkan hubungan berbentuk kurva U terbalik antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Dalam koteks ini, dapat dicermati pula bahwa polusi lingkungan akan meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada awalnya dan menurun setelah titik balik.
Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan kualitas lingkungan. Akan tetapi, timbul berbagai perdebatan terkait dengan kondisi nyata adanya EKC. Oleh karena itu, hasil empiris umumnya menghasilkan hasil yang berbagai macam dan tidak konklusif. Artinya, diperlukan analisis yang lebih spesifik mengenai pembuktian EKC untuk berbagai polutan spesifik dengan berbagai konteks penjelas yang masih harus lebih dalam untuk dikaji.
Ketika berbicara tentang limbah padat secara spesifik, Mazzanti dan Zoboli (2005), dan Mazzanti et al. (2012) secara inovatif memasukkan variabel limbah padat perkotaan ke dalam kerangka analisis EKC dan menyimpulkan bahwa tidak ada bukti pendukung untuk Kurva Kuznets Limbah atau Waste Kuznets Curve (WKC). Sebaliknya, Ichinose et al. (2011) berhasil memperoleh hasil bahwa limbah padat perkotaan sesuai dengan data Jepang yang sangat terdisagregasi. Walaupun masih jarang studi yang mencatat perbedaan ini, permasalahan kesenjangan pembangunan ekonomi yang besar antara negara berkembang dan negara maju kemudian patut pula untuk dicermati ketika mempertimbangkan analisis mengenai limbah padat perkotaan dan pembangunan ekonomi.
Studi terdahulu lebih banyak dilakukan untuk wilayah negara maju dan masih sedikit yang mempertimbangkan situasi di negara berkembang, seperti Tiongkok yang memiliki perubahan aspek lingkungan yang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir.
2. Metodologi
2.1 Model Dasar untuk Hipotesis WKC
Studi ini menggunakan model dasar untuk hipotesis Waste Kuznets Curve (WKC) yang mengintegrasikan PDB per kapita dalam bentuk logaritmik ke dalam persamaan regresi. Pendekatan ini dianggap lebih cocok untuk negara-negara berkembang seperti Tiongkok, yang memiliki kesenjangan ekonomi tiap wilayah yang signifikan. Secara spesifik, persamaan regresi acuan yang digunakan dalam studi ini dapat dinyatakan sebagai berikut.
Variabel lnpmswit adalah variabel dependen, yang menunjukkan nilai logaritma natural dari limbah padat perkotaan per kapita kota i pada tahun t. Selanjutnya, variabel lnpgdpit menunjukkan logaritma natural produk domestik bruto (PDB) per kapita kota i pada tahun t dan variabel ln2pgdpit menunjukkan fungsi kuadrat dari PDB. Adapun χ merupakan vektor variabel penjelas lain yang mempengaruhi limbah padat perkotaan dalam model ini, dan eit merupakan galat atau error term.
Interpretasi hasil dari bentuk kurva EKC adalah sebagai berikut.
- Ketika β0 ≠ 0 dan β1 = 0, kurva WKC berbentuk linear;
- Ketika β1 < 0, kurva WKC adalah kurva WKC berbentuk U terbalik;
- Ketika β1 > 0, kurva WKC adalah kurva WKC berbentuk U.
2.2 Analisis Spasial untuk Hipotesis WKC
Beberapa pendekatan analisis spasial yang dipakai pada studi ini adalah sebagai berikut.
- Global Moran’s I
Analisis ini diperlukan untuk mengetahui dependensi spasial dari limbah padat perkotaan per kapita dengan rumus sebagai berikut.
Intepretasi dari nilai Moran’s I adalah semakin dekat nilai ini ke 1, menunjukkan semakin besar pola yang mengelompok. Adapun nilai yang semakin dekat ke −1 menunjukkan semakin besar pola yang menyebar. Lalu, jika nilai sama dengan 0, tidak ada ketergantungan spasial dan limbah padat perkotaan per kapita menunjukkan distribusi spasial acak.
- Matriks Pembobot Spasial
Matriks pembobot spasial digunakan untuk mengetahui ketetanggaan antarruang dengan nilai biner dengan konsep ketetanggaan yang menggunakan konsep kontiguitas. Kompenen ini dipakai sebab terdapat kemungkinan adanya korelasi spasial dalam variabel limpah padat perkotaan antara kota-kota yang saling berdekatan. Jika suatu kota i bertetangga dengan kota j maka elemen matriks wij adalah 1. Sebaliknya, jika kota i dan kota j tidak bertetangga maka nilainya adalah nol.
- Model Ekonometrika Spasial
Model ekonometrika spasial yang dipakai pada penelitian ini adalah SLM (Spatial Lag Model) dan SEM (Spatial Error Model). Sebab, model ekonometrika spasial untuk autokorelasi spasial merupakan ‘perpanjangan’ dari model regresi biasa dengan memperkenalkan efek spasial secara eksplisit.
Adapun Spatial Lag Model (SLM) digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis ketergantungan spasial dari limbah padat perkotaan di seluruh kota penelitian. Hal ini dengan menggabungkan lag variabel dependen secara spasial yang berarti bahwa limbah padat perkotaan di satu kota dapat dipengaruhi oleh limbah padat perkotaan di kota-kota tetangga. Lalu, Spatial Error Model (SEM) digunakan untuk menjelaskan autokorelasi spasial dalam istilah eror dalam model regresi.
3. Data & Variabel
Data limbah padat perkotaan dan jumlah populasi yang digunakan alam studi ini bersumber dari Publikasi Tahunan Statistik Kota di Tiongkok dan Publikasi Tahunan Statistik Konstruksi Kota di Tiongkok. Semua data ini dipublikasikan oleh departemen administrasi lokal provinsi, daerah otonom, dan kota yang langsung di bawah pemerintah pusat. Analisis dilakukan dengan menggunakan balanced panel data yang terdiri dari 285 kota di Tiongkok yang mencakup periode 2006 hingga 2015.
Figur 2. Jumlah Limbah Padat Perkotaan per Kapita Rata-Rata di Tiongkok (2016–2020)
Sumber: Shan Gui et al (2018)
Adapun data kunci dalam studi ini, yakni Data PDB per kapita, digunakan untuk menganalisis hubungannya dengan limbah padat perkotaan. Korelasi keduanya sangat penting untuk memahami bagaimana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi pola produksi limbah di daerah perkotaan.
Figur 3. PDB per Kapita Rata-Rata di Tiongkok (2016–2020)
Sumber: Shan Gui et al (2018)
Selain itu, dengan mempertimbangkan pengaruh populasi mengambang terhadap limbah padat perkotaan, peneliti menggunakan rata-rata populasi tahunan setiap kota alih-alih populasi pada akhir tahun. Adapun variabel penjelas lain ialah investasi untuk sanitasi, jumlah institusi pendidikan tinggi, proporsi populasi perkotaan, nilai produksi industri tersier, dan panjang jalan kota.
3. Temuan
Teori WKC memprediksi bahwa seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, produksi sampah akan meningkat pada awalnya, kemudian menurun setelah mencapai titik balik tertentu. Studi ini sendiri tidak menemukan bukti bahwa ada hubungan kurva berbentuk U-terbalik (inverted U-Shape curve) antara pertumbuhan ekonomi (PDB per kapita) dan produksi limbah padat perkotaan. Sebaliknya, hasil menunjukkan bahwa peningkatan PDB per kapita justru diikuti oleh peningkatan secara berkelanjutan dalam produksi limbah padat perkotaan, tanpa adanya titik balik atau penurunan.
Adapun secara intuitif, semakin besar skala kota maka semakin serius polusi lingkungan. Sebab, istilah “Kota Terjebak Sampah” umumnya seringkali terjadi pada kasus di beberapa kota besar sehingga ukuran/skala perkotaan dan polusi lingkungan dinilai memiliki hubungan yang bersifat kausal.
Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi peningkatan limbah padat perkotaan adalah panjang jalan, proporsi industri tersier, dan tingkat urbanisasi. Variabel-variabel tersebut menunjukkan adanya korelasi yang positif dengan peningkatan jumlah limbah. Misalnya, semakin panjang jalan dalam suatu wilayah maka semakin besar akses transportasi, konsumsi, dan kegiatan komersial yang berpotensi meningkatkan volume limbah.
Tingginya proporsi industri tersier terutama di sektor-sektor konsumsi seperti pariwisata dan katering, juga menambah limbah padat di perkotaan secara signifikan. Sebaliknya, pendidikan dan investasi untuk sanitasi memiliki korelasi negatif yang lemah terhadap produksi limbah, yang menunjukkan bahwa keduanya belum memiliki dampak kuat dalam mengurangi volume limbah di Tiongkok.
Hasil analisis spasial dalam studi ini menunjukkan bahwa produksi limbah perkotaan di Tiongkok memiliki ketergantungan spasial yang signifikan antarkota. Hal ini berarti bahwa volume limbah yang dihasilkan di satu kota tidak hanya bergantung pada karakteristik dan aktivitas ekonomi kota tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh produksi limbah di kota-kota tetangganya. Dengan kata lain, terdapat efek limpahan (spillover effect) di mana kota-kota besar dengan volume limbah yang tinggi cenderung mempengaruhi kota-kota sekitarnya yang lebih kecil.
Efek limpahan ini diperkuat melalui analisis LISA (Local Indicator of Spatial Association) sederhana dan perhitungan indeks Moran’s I yang mengindikasikan adanya korelasi spasial dalam data produksi limbah padat perkotaan, serta melalui model regresi spasial yang memperhitungkan keterkaitan antarwilayah.
Figur 4. Hasil Estimasi Regresi Spasial
Sumber: Shan Gui et al (2018)
Dalam model WKC spasial, sebagian besar koefisien variabel penjelas secara statistik signifikan dan konsisten. Analisis model ekonometrika spasial yang digunakan, yaitu Spatial Lag Model (SLM) dan Spatial Error Model (SEM), menemukan adanya interaksi spasial dalam produksi limbah padat perkotaan menyebabkan pengaruh faktor ekonomi.
Faktor ekonomi yang mencakup PDB per kapita dan tingkat urbanisasi tersebut tidak hanya berpengaruh pada kota terkait, tetapi juga menyebar ke kota-kota yang berdekatan. Misalnya, peningkatan volume sampah di satu kota cenderung diikuti oleh peningkatan volume di kota-kota sekitar, baik melalui mobilitas penduduk, pola konsumsi, maupun aktivitas komersial yang terhubung. Hasil ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan faktor spasial dalam studi lingkungan, karena ketergantungan spasial dapat menyebabkan estimasi yang bias jika tidak diperhitungkan.
4. Simpulan
Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan PDB per kapita di Tiongkok secara konsisten diikuti oleh peningkatan volume limbah padat perkotaan, tanpa menunjukkan pola bentuk kurva U-terbalik yang dihipotesiskan oleh Waste Kuznets Curve (WKC). Temuan ini kemudian menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi berkontribusi secara langsung pada meningkatnya jumlah limbah di perkotaan.
Hal ini kemudian semakin menegaskan bahwa pembangunan ekonomi saja tidak menyelesaikan masalah lingkungan. Sebaliknya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi juga tetap menekankan penerapan kebijakan berbasis lingkungan yang komprehensif untuk mengelola limbah.
Faktor lain seperti panjang jalan, proporsi industri tersier, dan tingkat urbanisasi juga terbukti mendorong peningkatan volume limbah padat perkotaan. Sementara itu, variabel seperti investasi sanitasi dan pendidikan memiliki dampak negatif yang lemah.
Temuan ini semakian menegaskan bahwa upaya pengelolaan lingkungan di Tiongkok perlu lebih intensif untuk mengimbangi dampak dari pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun demikian, dalam model non-spasial ini yang mengabaikan efek interaksi antarkota dapat menyebabkan estimasi yang kurang akurat. Meskipun model non-spasial memang menghasilkan hasil yang lebih sederhana dan tidak menangkap adanya efek limpahan di mana volume limbah padat di satu kota mempengaruhi kota-kota di sekitarnya.
Oleh karena itu, studi ini juga menekankan pentingnya analisis spasial dalam memahami dinamika limbah padat perkotaan. Sebab, ditemukan adanya efek limpahan di mana volume limbah padat perkotaan di kota-kota besar berdampak pada kota-kota tetangganya.
Ketergantungan spasial ini mengindikasikan perlunya koordinasi lintas wilayah dalam kebijakan pengelolaan sampah, terutama di kawasan metropolitan dan kluster perkotaan. Hasil ini menekankan bahwa strategi pengelolaan sampah harus mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah untuk meminimalkan dampak negatif dan mencapai pengelolaan yang lebih efektif.
Beberapa rekomendasi diantaranya berupa pengimplementasian kebijakan lingkungan regional yang terkoordinasi dan berkelanjutan. Harapannya, setiap kota di Tiongkok dapat lebih efektif mengelola volume sampah dan juga memitigasi dampak negatif pada daerah tetangga sehingga menciptakan kondisi lingkungan yang lebih sehat bagi masyarakat.