Bagaimana Penyebaran Perkotaan Mempengaruhi Kualitas Ekologi dan Lingkungan? Pendekatan Empiris di Tiongkok dengan Spatial Durbin Model

Resensi Jurnal

Oleh: Gabriel Ivo Aveliano Kusuma Adi Valentino

Referensi

Danling Chen, Xinhai Lu, Wenbo Hu, Chaozheng Zhang, Yaoben Lin “How urban sprawl influences eco-environmental quality: Empirical research in China by using the Spatial Durbin model” Ecological Indicator 131 (2021) 108113, https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2021.108113.

1. Pendahuluan

Penyebaran perkotaan dan kualitas ekologi serta lingkungan merupakan dua isu utama yang memengaruhi proses urbanisasi global. Penyebaran perkotaan atau perluasan wilayah perkotaan (urban sprawl) adalah fenomena ekspansi wilayah perkotaan yang tidak teratur, kurang terorganisir dan penyebarannya sering kali terjadi tanpa perencanaan tata ruang yang baik, menyebabkan peningkatan penggunaan lahan. Penyebaran perkotaan (urban sprawl) akan meningkatkan produksi ekonomi dan ketersediaan sumber daya jika dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Oleh karena itu, sebagian besar negara, khususnya Tiongkok, semakin berfokus pada perluasan lahan perkotaan dan hal-hal terkait yang mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. 

Beberapa ahli menunjukkan bahwa penyebaran perkotaan merupakan sebuah proses yang kompleks dan sistematis (Harvey & Clark, 1965; Nazarnia et al., 2019), yang biasanya disertai dengan transformasi struktur ekonomi, struktur sosial, dan cara produksi dan kehidupan (Frenkel dan Ashkenazi, 2008). Perkembangan pesat wilayah perkotaan sering kali tidak diiringi dengan perencanaan yang berkelanjutan, akan menyebabkan permasalahan lingkungan seperti degradasi lingkungan, peningkatan polusi, serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.

1.1 Pentingnya Analisis Limb1.1 Hubungan Antara Penyebaran Perkotaan (Urban Sprawl) dan Kualitas Ekologi Lingkungan.

Ekspansi lahan perkotaan di Tiongkok berkembang pesat sejak tahun 2000 hingga 2018 dengan laju pertumbuhan tahunan rata-rata 13,32%. Hal ini meningkatnya konsentrasi industri, konsumsi energi, dan transportasi yang menimbulkan masalah lingkungan signifikan, seperti pengurangan lahan pertanian, peningkatan polusi industri, dan emisi karbon yang berlebihan​. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam mengelola ekspansi kota sering kali tidak mempertimbangkan efek limpahan (spillover effects) yang ditimbulkan oleh penyebaran perkotaan (urban sprawl) terhadap daerah sekitar. Sebagai contoh, ekspansi kota di satu wilayah dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di daerah yang berdekatan akibat pencemaran udara, limbah industri, atau deforestasi. Dalam proses pembangunan dan transformasi perkotaan, perubahan intensitas penggunaan lahan, alokasi lahan industri, dan ruang pengembangan ekonomi saling berinteraksi sehingga menghasilkan dampak terhadap ekologi regional (Portnov et al., 2000; Lichtenberg & Ding, 2009). Secara khusus, terdapat pengaruh yang lebih kompleks dan tidak pasti terhadap kualitas ekologi lingkungan, yang mengacu pada perwujudan komprehensif dari keadaan alam, pencemaran lingkungan, dan tingkat tata kelola berdasarkan kebutuhan khusus manusia (Sajjad & Iqbal, 2012; Heer & Irmen, 2014).

Studi ini bertujuan untuk memahami hubungan antara penyebaran perkotaan (urban sprawl) dan kualitas ekologi lingkungan. Studi ini mengembangkan kerangka teoretis multidimensional yang menjelaskan bagaimana urban sprawl mempengaruhi kualitas ekologi lingkungan melalui beberapa aspek utama, yaitu penyebaran populasi, perkembangan sosial-ekonomi, ekspansi transportasi, dan penggunaan lahan. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih komprehensif terhadap dampak penyebaran perkotaan (urban sprawl) terhadap lingkungan. Oleh karena itu, studi ini menyoroti pentingnya memahami hubungan antara pertumbuhan kota dan lingkungan dengan menggunakan pendekatan spasial untuk mengidentifikasi efek langsung dan tidak langsung dari penyebaran perkotaan (urban sprawl).

1.2 Adanya Beban Lingkungan Akibat Perluasan Wilayah Kota

Beban lingkungan akibat perluasan wilayah kota semakin meningkat seiring dengan ekspansi perkotaan yang pesat. Pemerintah Tiongkok telah menerapkan berbagai kebijakan administratif dan ekonomi untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan sebagai akibat dari penyebaran perkotaan (urban sprawl) seperti regulasi lingkungan, pajak lingkungan, serta sistem perdagangan emisi. Akan tetapi, sebagai negara berkembang dengan mayoritas banyaknya industri berat, Tiongkok menghadapi tantangan besar dalam mengurangi dampak lingkungan dari urbanisasi. Polusi dan degradasi ekologi terus meningkat akibat ketergantungan pada energi berbasis karbon dan penggunaan sumber daya yang intensif. 

Kasus pada peningkatan atau penurunan kualitas ekologi-lingkungan dikaitkan dengan perluasan perkotaan dengan tidak mengabaikan faktor spasial. Terlebih lagi adanya dampak negatif dari penyebaran perkotaan (urban sprawl) yaitu adanya efek spasial yang dimana tidak hanya terjadi diwilayah perkotaan saja tetapi menyebar kedaerah-daerah sekitar. Oleh karena itu, upaya dilakukan terutama bagaimana mendorong pemerintah daerah secara efektif untuk meningkatkan upaya tata kelola terhadap isu-isu ekologi-lingkungan dalam proses penyebaran perkotaan.

2. Metodologi

Dewasa ini, perluasan wilayah perkotaan telah menjadi pusat penelitian bagi para ekonom, sosiolog, dan ekologi. Banyak penelitian yang berfokus pada definisi, pengukuran, dan dampaknya (Fulton et al., 2001; Jaeger & Schwick, 2014; Steurer & Bayr, 2020). Walaupun tidak ada definisi yang diterima secara umum mengenai penyebaran perkotaan, beberapa penelitian sepakat bahwa penyebaran perkotaan mengacu pada fenomena penyebaran perkotaan yang tidak teratur dan tidak terorganisir (Frederic Deng dan Huang, 2004; Frenkel dan Ashkenazi, 2008), disertai dengan transformasi struktur sosial ekonomi, transportasi sosial, moda produksi lahan, dan negara transportasi (Liang et al., 2019).

2.1 Analisis Spatial Correlation

Korelasi spasial merupakan sifat dasar dari atribut tertentu dari objek geografis di suatu ruang (Moran, 1948). Sebelum menggunakan metode ekonometrika spasial, perlu dilakukan uji korelasi spasial. Indeks autokorelasi spasial yang perlu dilakukan seperti Moran’s I, Geary’s C, dan General G menunjukkan apakah suatu variabel atau objek menunjukkan ketergantungan spasial yang nyata pada skala tertentu (Bailey dan Gatrell, 1995). Dalam konteks ini, indeks pengukuran ini dapat menunjukkan apakah kualitas ekologi lingkungan menunjukkan ketergantungan spasial yang nyata di tingkat wilayah administratif. Dalam studi ini, indeks Moran’s I yang banyak digunakan digunakan untuk mengukur secara kuantitatif apakah, dan berapa banyak, hasil kualitas ekologi lingkungan yang berkorelasi di seluruh provinsi di Tiongkok, sebagai berikut:

Dimana n merupakan total dari unit yang diteliti; xi dan xj merupakan indeks kualitas ekologi lingkungan di suatu daerah i dan j; σ2 merupakan varian dari x; Wij merupakan matriks pembobot spasial berukuran N × N; S menunjukkan standart deviasi dari sampel penelitian; dan Z merupakan nilai statistik untuk menguji signifikansi ekonometrika dari autokorelasi spasial.

Moran’s I dihitung berdasarkan matriks bobot spasial yang mempertimbangkan kedekatan geografis antara provinsi. Jika nilai Moran’s I mendekati +1, ini menunjukkan bahwa variabel memiliki pola spasial yang terkelompok, sedangkan nilai mendekati -1 menunjukkan pola yang terdispersi atau menyebar.

2.2. Pemodelan Spasial untuk Urban Sprawl terhadap Kualitas Lingkungan

Sebelum dilakukannya analisis regresi spasial, diperlukannya matriks pembobot spasial yang dipakai untuk menangkap interaksi spasial antara provinsi-provinsi di Tiongkok dalam kaitannya dengan penyebaran perkotaan dan kualitas ekologi lingkungan. Studi ini memakai dua matriks pembobot spasial yaitu matriks A berdasarkan bobot geografis yang menjelaskan efek spasial berdasarkan kedekatan geografis antara wilayah-wilayah penelitian, lalu matriks B berdasarkan bobot ekonomi untuk menangkap keterkaitan spasial dari perspektif ekonomi, yang mencerminkan bagaimana aktivitas ekonomi di satu wilayah dapat memengaruhi wilayah lain. 

Model regresi spasial diperlukan dalam studi ini untuk menangkap efek spasial dari penyebaran perkotaan terhadap kualitas lingkungan. Tidak seperti model regresi konvensional, model regresi spasial mempertimbangkan ketergantungan spasial dan heterogenitas spasial, yang penting dalam menganalisis fenomena yang dipengaruhi oleh faktor geografis. Hal ini dikarenakan pada penyebaran perkotaan, terdapat efek limpahan terhadap wilayah sekitar sehingga diperlukan pendekatan yang dapat menangkan interaksi antarwilayah.

Studi ini memakai tiga model utama dalam regresi spasial, yaitu Spatial Lag Model (SLM), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM). SLM mengukur efek ketergantungan spasial dari variabel dependen dengan persamaan sebagai berikut:

sementara SEM menangkap pengaruh faktor tak teramati dari wilayah sekitar yang dapat mempengaruhi hasil regresi yang disusun dengan model berikut:

SEM dan SLM merupakan kasus khusus SDM. Dimana untuk mendapatkan hasil estimasi yang tidak bias, SDM dipilih sebagai model utama karena mampu menangkap baik efek langsung maupun tidak langsung dari penyebaran perkotaan terhadap kualitas lingkungan, dengan mempertimbangkan efek interaksi endogen (langsung) dan eksogen (tidak langsung) dengan model sebagai berikut:

dimana i merepresentasikan unit ruang; t mewakili tahun; Yit menunjukkan N × 1 matriks dari variabel dependen; χit menunjukkan matriks N × k vektor dari variabel penjelas; ρ merupakan parameter autoregressive; β menunjukkan K ×1 vektor dari parameter; W merupakan matriks pembobot spasial; c melambangkan konstanta; μi dan λt menggambarkan spasial dari individual effect dan time effect; εit menggambarkan galat; νit adalah N ×1 vektor dari residual; γ menggambarkan koefisien korelasi eror spasial; dan θ menggambarkan koefisien lag spasial.

3. Data & Variabel

Studi ini menggunakan data panel dari 30 provinsi di daratan Tiongkok, mencakup tahun 2003 hingga 2018. Data ini bersumber dari publikasi tahunan statistik Negara Tiongkok dan tiap provinsinya. Pada beberapa yang tidak tersedia tau hilang, digunakanlah metode interpolasi.

Variabel utama dalam penelitian ini adalah penyebaran perkotaan (urban sprawl), yang diukur melalui indeks penyebaran perkotaan yang mencakup empat aspek, yaitu: 

  1. penyebaran populasi, yang dilihat dari proporsi penduduk perkotaan, tingkat penduduk bekerja di perkotaan, dan proporsi penduduk di sektor pertanian; 
  2. penyebaran sosial-ekonomi, yang dilihat dari kepadatan input dan output ekonomi perkotaan serta kualitas hidup penduduk perkotaan;
  3. penyebaran transportasi, yang dilihat dari pelayanan akses transoprtasi publik; dan aksesbilitas serta operasional transportasi publik;
  4. penyebaran penggunaan lahan perkotaan. 

Selain itu, variabel dependen yang digunakan adalah kualitas ekologi lingkungan, yang diukur melalui indeks yang mencerminkan kondisi lingkungan alam, tingkat pencemaran, dan kebijakan pengelolaan lingkungan. Studi ini juga memasukkan variabel kontrol untuk meningkatkan akurasi analisis empiris, yakni pertumbuhan ekonomi, tingkat urbanisasi, kepadatan penduduk, struktur industri, kemajuan teknologi, tingkat keterbukaan ekonomi, dan tingkat upah pekerja.

4. Temuan

Studi ini memetakan dari variabel penyebaran perkotaan dan kualitas ekologi lingkungan untuk mengetahui distribusi spasial dari rentang tahun 2003, 2008, 2013, dan 2018.

Figur 1. Tren Perubahan dan Perbedaan Regional antara Penyebaran Perkotaan (Urban Sprawl/UBS) dan Kualitas Ekologi Lingkungan (Eco-Environmental Quality/EEQ)

Sumber: D. Chen et al. (2021)

Secara keseluruhan, kualitas ekologi lingkungan di Tiongkok mengalami peningkatan sebesar 0,2214 atau sekitar 4,13%. Akan tetapi, tren perubahan ini mengalami penurunan kecepatan pada awal periode sebelum akhirnya meningkat kembali. Temuan ini menunjukkan bahwa tren temporal dari kualitas ekologi lingkungan dan penyebaran perkotaan cenderung berlawanan​. 

Selain itu, hasil pemetaan menunjukkan adanya disparitas spasial yang signifikan pada kualitas ekologi lingkungan di berbagai wilayah. Provinsi-provinsi di wilayah timur Tiongkok memiliki nilai kualitas ekologi lingkungan tertinggi, dengan rata-rata 0,5446, diikuti oleh wilayah timur laut (0,4996) dan wilayah barat (0,4045). Sementara itu, wilayah tengah Tiongkok memiliki kualitas ekologi lingkungan terendah dengan rata-rata 0,3995. Hal ini dikarenakan wilayah bagian tengah di Tiongkok sebagai wilayah industri dengan fokus pada industri energi dan bahan baku sangat bergantung pada sumber daya alam yang melimpah. Sehingga, provinsi-provinsi di wilayah tengah menunjukkan nilai kualitas ekologi lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah barat. Temuan ini menegaskan bahwa tingkat perkembangan industri dan jenis industri yang dominan di suatu wilayah sangat mempengaruhi kualitas ekologi lingkungan. Wilayah barat dapat menjadi perhatian karena tidak menjadi yang wilayah dengan kualitas ekologi lingkungan terendah di Tiongkok. Salah satu kemungkinan penyebabnya yaitu wilayah bagian barat dianggap sebagai daerah yang kurang berkembang, dengan tingkat pertumbuhan yang lebih lambat dan jumlah industri yang relatif sedikit sehingga menghasilkan tingkat pencemaran industri yang lebih rendah​. 

Sebelum dilakukannya regresi spasial, studi ini menganalisis autokorelasi spasial dengan uji Moran’s I. Hasil uji Moran’s I yang didasarkan pada kedua matriks pembobot spasial yaitu matriks bobot A (jarak geografis) dan matriks pembobot B (faktor ekonomi) dengan hasil bahwa terdapat korelasi spasial yang signifikan dalam kualitas ekologi lingkungan antarprovinsi atau dapat dikatakan dampak penyebaran perkotaan terhadap kualitas ekologis lingkungan saling berhubungan di berbagai antarwilayah. Oleh karena itu, model ekonometrika spasial digunakan untuk menangkap pengaruh langsung dan tidak langsung dari penyebaran perkotaan terhadap kualitas lingkungan di berbagai wilayah.

Figur 2. Hasil Estimasi Regresi Spasial

Sumber: D. Chen et al. (2021)

Hasil estimasi regresi dalam studi ini menunjukkan bahwa penyebaran perkotaan (urban sprawl) memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas ekologi lingkungan. Estimasi dengan Spatial Durbin Model (SDM) dipakai setelah dilakukan pemilihan secara statistik model regresi spasial yang terbaik. Hasil dengan Spatial Durbin Model (SDM) menangkap efek spasial dan hasil estimasi menunjukkan bahwa peningkatan urban sprawl sebesar 1% menyebabkan penurunan kualitas lingkungan sebesar 0,141 pada matriks bobot geografis dan 0,173 pada matriks bobot ekonomi. Hal ini menegaskan bahwa penyebaran perkotaan tidak hanya memengaruhi wilayah tempatnya berkembang, tetapi juga menimbulkan dampak lingkungan di daerah sekitarnya (daerah tetangga). Studi ini juga menguraikan efeknya menjadi efek langsung dan tidak langsung untuk menjelaskan dampak pada penyebaran perkotaan (urban sprawl). Efek langsung mengacu pada dampak yang terjadi di wilayah itu sendiri akibat ekspansi perkotaan, sementara efek tidak langsung mencerminkan dampak yang terjadi di wilayah sekitar akibat efek limpahan (spillover effect).

Studi ini menemukan bahwa penyebaran perkotaan memiliki efek langsung negatif yang signifikan terhadap kualitas lingkungan lingkungan. Pada efek tidak langsung menunjukkan penyebaran perkotaan di satu daerah dapat berdampak negatif pada kualitas lingkungan lingkungan daerah tetangga namun efeknya lebih lemah dibandingkan dengan efek langsung. Hasil efek limpahan menunjukkan bahwa dampak penyebaran perkotaan di satu provinsi dapat mempengaruhi kualitas lingkungan lingkungan di provinsi tetangga. Keterkaitan ini menekankan perlunya perencanaan daerah yang terkoordinasi. Temuan ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan efek langsung dan tidak langsung secara spasial ketika menilai dampak penyebaran perkotaan terhadap kualitas lingkungan lingkungan.

5. Simpulan

Studi ini menunjukkan bahwa penyebaran perkotaan (urban sprawl) memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas ekologi lingkungan. Berdasarkan estimasi dengan Spatial Durbin Model, ditemukan hasil bahwa semakin luas suatu wilayah perkotaan berkembang, semakin besar degradasi lingkungan yang terjadi. Analisis empiris yang dilakukan terhadap 30 provinsi di daratan Tiongkok selama periode 2003–2018 menunjukkan bahwa ekspansi lahan perkotaan merupakan faktor utama yang menurunkan kualitas lingkungan, diikuti oleh penyebaran sosial-ekonomi, penyebaran populasi, dan penyebaran transportasi​. 

Selain itu, studi ini menemukan adanya efek limpahan (spillover effects) dari penyebaran perkotaan (urban sprawl) terhadap kualitas ekologi lingkungan di wilayah sekitarnya. Artinya, pertumbuhan perkotaan di suatu wilayah tidak hanya berdampak pada daerah tersebut tetapi juga memengaruhi kondisi lingkungan di provinsi-provinsi tetangganya. Hal ini kemudian semakin menegaskan perlunya kebijakan pembangunan kota yang tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga mempertimbangkan efek regional agar tidak terjadi kompetisi lingkungan yang tidak sehat antarwilayah​. 

Studi ini menggarisbawahi perlunya urgensi untuk perencanaan kota yang terkoordinasi guna meningkatkan kualitas lingkungan lingkungan di tengah penyebaran perkotaan yang masif dilakukan pada suatu negara. Oleh karena itu, implikasi kebijakan yang sesuai dari hasil studi ini mencakup penerapan regulasi lingkungan yang lebih ketat, optimalisasi tata guna lahan, serta peningkatan efisiensi energi dan teknologi ramah lingkungan. Pemerintah diharapkan untuk tidak hanya mengendalikan ekspansi perkotaan secara fisik tetapi juga mengarahkan pertumbuhan sosial-ekonomi yang lebih berkelanjutan. Strategi pembangunan yang lebih hijau, seperti perencanaan tata ruang berbasis ekologi dan penguatan sistem perdagangan emisi karbon dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif dari penyebaran perkotaan (urban sprawl) terhadap kualitas ekologi lingkungan. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Accessibility Toolbar