Heterogenitas Wilayah dalam Mendaur Ulang Limbah Kemasan Plastik Rumah Tangga: Pendekatan Ekonometrika Spasial 

Resensi Jurnal

Oleh: Gabriel Ivo Aveliano Kusuma Adi Valentino

Referensi

Olle Hage, Krister Sandberg, Patrik Söderholm, Christer Berglund, “The Regional Heterogeneity of Household Recycling: A Spatial-Econometric Analysis of Swedish Plastic Packing Waste”,  Letters in Spatial and Resource Sciences, 11(3), 245–267, 2018, https://doi.org/10.1007/s12076-017-0200-3

1. Pendahuluan

Berbagai negara, terutama di wilayah Uni Eropa, telah sepakat untuk mendorong transisi menuju ekonomi sirkular yang menjaga nilai produk, material, dan sumber daya dalam jangka panjang. Beberapa upaya tersebut meliputi pencegahan dan penggunaan kembali sampah (upcycling), efisiensi bahan, serta penentuan besaran dan proporsi produksi dan sumber daya dengan menggunakan media digital (European Commission, 2015; European Environment Agency, 2016). 

Penelitian terdahulu menunjukkan adanya dampak lain dalam kebijakan untuk memfasilitasi aktivitas daur ulang limbah atau yang dikenal sebagai ‘dampak pelengkap.’ Tidak kalah penting, dampak pelengkap inilah yang nantinya cenderung akan memberikan dampak positif tidak langsung pada pengurangan limbah (D’Amato et al, 2016).

Paper ini kemudian menekankan heterogenitas wilayah dalam pengumpulan limbah plastik rumah tangga di negara Swedia dengan fokus pada bagaimana kebijakan pengelolaan limbah lokal, kondisi geografis, dan karakteristik sosial-ekonomi memengaruhi tingkat pengumpulan limbah. Terlebih, kebijakan terkait lingkungan sering dirumuskan di tingkat nasional di saat tanggung jawab pengimplementasian dan pemantauan pada umumnya diserahkan kepada kebijakan di tingkat daerah. 

Konteks Daerah & Kewilayahan

Negara Swedia menjadi objek utama dari paper ini. Sebab, negara yang terletak di wilayah Skandinavia tersebut memiliki kebijakan yang sangat baik dalam kaitannya dengan tanggung jawab produsen untuk mengelola limbah kemasan yang mulai diterapkan sejak tahun 1994. Salah satunya ialah penetapan target nasional untuk daur ulang, termasuk dalam hal pengelolaan limbah plastik, sehingga memberikan konteks yang relevan untuk analisis pengumpulan limbah plastik di tingkat rumah tangga rumah tangga. 

Dalam praktiknya, tiap-tiap kota di Swedia diwajibkan oleh pemerintah tiap kotanya untuk berperan secara mandiri dalam memberikan informasi kepada rumah tangga tentang sistem pengumpulan limbah dan pengawasannya yang berkaitan dengan proses membersihkan dan memilah limbah kemasan dari limbah lainnya. Kebijakan yang bertujuan untuk mendorong upaya daur ulang rumah tangga ini sendiri mencakupbiaya penanganan limbah, penyediaan infrastruktur yang diperlukan, dan lain-lain.

Dalam skala daerah atau regionalnya, perancangan serta penerapan skema pengelolaan limbah plastik tersebut melibatkan industri pengumpulan limbah yang berbeda di tiap kota. Kondisi ini kemudian menunjukkan inisiatif daur ulang limbah dan hasil daur ulang tiap daerah belum seragam di seluruh Swedia yang berkaitan dengan adanya heterogenitas.

Secara agregat nasional, limbah plastik kemasan yang dikumpulkan tiap rumah tangga di Swedia meningkat pada tahun terakhir dan berpotensi untuk dapat meningkat tiap tahunnya (Dahlén et al., 2013). Akan tetapi, data-data menunjukkan bahwa secara umum memang terdapat heterogenitas, terutama dalam hal kewilayahan. Secara rata-rata, limbah kemasan plastik rumah tangga per penduduk yang dikumpulkan oleh 282 kota di Swedia pada tahun 2005 berkisar di antara 0,04 kg per pendudukhingga 5,71 kg per penduduk. 

Pengaruh ketergantungan spasial dalam tingkat pengumpulan limbah kemudian menjadi sorotan dalam jurnal ini. Analisisnya meliputi sejauh mana perbedaan dalam tingkat pengumpulan antarkota yang disebabkan oleh adanya perbedaan biaya serta berbagai aspek lainnya, diantaranya ialah kebijakan, demografis, serta geografis.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari kajian ini ialah untuk menganalisis faktor-faktor penentu efektivitas pengumpulan limbah plastik rumah tangga pada 282 kota di Swedia, termasuk diantaranya ialah peran kebijakan pengelolaan limbah lokal, kondisi geografis dan sosial-ekonomi, serta preferensi terkait lingkungan. Selain efektivitas kebijakan pengelolaan limbah yang diterapkan di tingkat daerah, kebijakan tersebut memengaruhi tingkat pengumpulan limbah plastik serta efektivitas kebijakan pengelolaan limbah yang diterapkan di tingkat kota dengan melihat heterogenitas antarwilayah. 

Sebagaimana dijabarkan pada bagian sebelumnya, beberapa penelitian terdahulu telah meninjau faktor penentu perilaku dan hasil dari kebijakan daur ulang yang berbasis satu dan beberapa wilayah (Duggal et al., 1991; Sterner dan Bartelings 1999; Thomas 2001; Li, 2003; Tonglet et al., 2004; Lyas et al., 2005; Dahlén et al., 2007). Namun demikian, analisis berbasis kewilayahan dalam studi tersebut belum terlalu menyoroti agregasi geografis yang memungkinkan untuk dilakukannya analisis dampak kebijakan lokal, geografi, demografi, dan faktor sosial ekonomi—terutama yang menyoroti peran kebijakan dan berbagai faktor penentu sosial ekonomi dari masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut—. 

Mengapa Diperlukan Analisis Spasial?

Analisis secara spasial diperlukan karena terdapat dependensi antarwilayah dalam kaitannya dengan pengumpulan limbah plastik. Sebab, merujuk pada data yang dikumpulkan dengan referensi suatu lokasi satu pengamatan, analisis dari data yang ada menunjukkan kecenderungan adanya ketergantungan jumlah limbah plastik di tingkat rumah tangga dengan pengamatan lain di lokasi yang berbeda.

Pada kasus pengelolaan limbah kemasan rumah tangga, terdapat beberapa alasan mengapa hasil daur ulang di suatu kota dapat dipengaruhi oleh kebijakan dan praktik yang digunakan di kota tetangganya. Sebagai contoh, suatu kota tetangga memulai industri pengolaan sampah milik daerah yang telah berhasil diterapkan. Nantinya, informasi terkait sistem pengumpulan dan bahkan mungkin kebijakan lain dapat distandarisasi di wilayah lain tetangganya atau wilayah yang lebih luas.

Selain itu, pemangku kebijakan dari kota yang terletak berdekatan juga dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan antarwilayah tetangganya yang berdampak pada kesamaan kebijakan dan tingkat pengumpulan. Dengan demikian, dapat dicermati bahwa terdapat dependensi wilayah atau ketergantungan antarwilayah yang mendasari diperlukannya suatu analisis yang berbasis spasial.

2. METODOLOGI

Data & Sumber Data

Kajian ini merupakan penelitian yang dianalisis secara spasial dengan data cross section pada tahun 2005 dengan unit analisis 282 kota di Swedia. Data yang digunakan mencakup berbagai variabel yang memengaruhi pengumpulan limbah plastik rumah tangga, termasuk kebijakan pengelolaan limbah lokal, kondisi geografis, dan karakteristik sosial-ekonomi. Namun demikian, fokus dari stusi ini sendiri hanya pada tahun 2005, terutama yang berkaitan dengan peran penting infrastruktur daur ulang, seperti halnya keberadaan fasilitas daur ulang di tepi jalan, serta intensitas tempat pembuangan limbah plastik rumah tangga.

Studi ini juga menggunakan permodelan tingkat pengumpulan kemasan plastik rumah tangga di suatu kota secara tahunan dalam bentuk kemasan plastik yang dicampur dengan satuan kilogram per penduduk. Akan tetapi, botol berjenis PET tidak termasuk sistem pengumpulan. 

Data-data yang digunakan pada kajian ini dapat dicermati pada daftar berikut.

  1. Staaf (2006): Data pengumpulan limbah plastik rumah tangga per penduduk.
  2. Villaägarna (2006): Informasi tentang pengumpulan limbah plastik di rumah-rumah pribadi.
  3. Funck (2006): Jumlah fasilitas daur ulang limbah plastik per 1000 penduduk.
  4. SCB (2005a): Data demografis, seperti halnya kepadatan populasi dan tingkat urbanisasi.
  5. KFAKTA (2006): Data sosial-ekonomi, seperti halnya tingkat pendapatan rata-rata dan tingkat pengangguran.
  6. AMS (2006): Data pengangguran.
  7. SCB (2005b): Data tentang proporsi rumah-rumah pribadi dan imigran di masing-masing wilayah.

Analisis Spasial

Analisis secara spasial diperlukan karena variabel yang digunakan dalam analisis paper ini memiliki dependensi antarwilayah, terutama dari aspek geografis dan demografis. Oleh karena itu, penggunaan model regresi sederhana atau ordinarty least square OLS) akan menghasilkan estimasi parameter yang bias dan tidak efisien. Dengan mempertimbangkan latar belakang tersebut,  studi ini kemudian menggunakan metode ekonometrika spasial yang secara eksplisit membahas penggabungan autokorelasi spasial dalam estimasi model ekonometrika. 

Variabel spasial pertama ialah jarak. Sebab, jarak antara pusat kota dan industri daur ulang plastik akan memengaruhi biaya transportasi bagi perusahaan material. Semakin jauh jaraknya, semakin rendah insentif bagi perusahaan material untuk mengumpulkan limbah rumah tangga.

Dalam kasus Swedia, kerugian biaya ini dapat dinetralisir dengan tingkat kompensasi yang lebih tinggi untuk limbah kemasan plastik rumah tangga yang dikumpulkan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh skema tanggung jawab produsen di Swedia yang memberikan kompensasi moneter yang berbeda-beda di setiap daerah, dengan kompensasi yang lebih tinggi di daerah dengan biaya tinggi. Oleh karena itu, pengumpulan limbah plastik di Swedia dilakukan dengan cara yang tidak selalu efisien secara biaya. 

Selain itu, pada aspek demografi dan kewilayahan, studi ini juga memperhitungkan konteks area yang berpenduduk padat urbanisasi. Area padat urbanisasi ini kemudian dikategorikan apabila setidaknya terdapat 200 penduduk dan sekelompok bangunan yang terpisah satu sama lain dengan jarak 200 meter.

Lebih lanjut, analisis ekonometrika spasial juga memerlukan matriks pembobot spasial atau biasa disebut dengan W matriks sebagai proksi untuk beberapa dependensi spasial antarobservasi yang akan dimasukkan dalam estimasi spasial. Dengan mempertimbangkan pula autokorelasi spasial yang menggunakan nilai indeks Moran’s I dan Geary’s C (Moran 1948; Geary 1954; Cliff dan Ord 1973, 1981), para penulis kemudian melakukan pemetaan hasil dari analisis autokorelasi spasial yang menggambarkan tingkat pengumpulan kemasan plastik di berbagai kota dengan tingkat pengumpulan rata-rata tertimbang di kota tetangga.

Matriks pembobot spasial dipakai pada analisis autokorelasi spasial adalah inversed squared distance matrix yang telah terstandarisasi dalam baris, dengan jarak cut-off yang dipakai adalah 182 km. Hasilnya kemudian menunjukkan bahwa wilayah pengumpulan limbah plastik dalam skala besar berpola mengelompok (clustering) dan selalu ‘bertetangga’ dengan wilayah yang pengumpulan limbah plastiknya berskala rendah. 

Hasil Pemetaan Tingkat Pengumpulan Limbah Plastik Rumah Tangga Per Wilayah di Negara Swedia Menggunakan Morran Scatterplot

Sumber: Hage et al (2018)

Setelah melakukan analisis autokorelasi spasial dengan temuan bahwa ditemukan adanya dependensi antar wilayah, para penulis dari studi ini kemudian melakukan analisis regresi spasial. Sebagaimana diketahui, model analisis regresi spasial harus dan terbebaskan dari masalah inefisiensi dan bias dalam model. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut maka model yang terbaik untuk menggambarkan hasil adalah Spatial Lag Model. Spatial Lag Model mengasumsikan bahwa selain dipengaruhi oleh variabel prediktor pada lokasi yang sama, variabel respons juga dipengaruhi oleh rata-rata nilai variabel respons dilokasi tetangga, dengan persamaan sebagai berikut.

Variabel y sendiri merupakan dependen variabel (limbah plastik), ρ adalah koefisien spatial autoregressive, X adalah vektor dari independen variabel dan ε adalah vektor dari error terms. Sebelum dilakukannya analisis regresi spasial, para penulisnya juga melakukan pra-uji regresi spasial dengan melakukan pengujian LM-lag test dan LM-error test.

Model estimasi spasial juga diteliti lebih lanjut menggunakan Maximum Likelihood (ML). Lalu, dikarenakan terdapat heteroskedastisitas dan residual yang tidak terdistribusi normal maka paper tersebut juga menggunakan model estimasi robust Instrumental Variabel (IV) (2SLS) dengan instrumen yang dipakai adalah lag eksogen spasial seperti pada penelitian terdahulu oleh Kelejian dan Robinson (1992).

3. Temuan

Hasil analisis autokorelasi spasial dari paper ini sendiri menunjukkan bahwa pengumpulan limbah plastik pada suatu wilayah terdapat adanya dependensi wilayah. Temuan ini kemudian mengindikasikan bahwa kebijakan dan praktik pengelolaan limbah di satu daerah dapat memengaruhi daerah lain di sekitarnya. 

Apabila ditinjau dari variabel aspek kebijakan, hasil estimasi lanjutan secara spesifik juga menunjukkan bahwa pada variabel terdapat beberapa wilayah atau yang telah memperkenalkan biaya pengelolaan limbah plastik berbasis berat. Aspek kebijakan ini kemudian memberikan insentif ekonomi bagi rumah tangga untuk memilah dan mendaur ulang limbah tiap rumah tangga dan mengindikasikan bahwa insentif ekonomi efektif dalam mendorong dalam proses daur ulang. Akan tetapi, temuan ini belum menunjukkan bahwa kebijakan tersebut efektif sesuai dengan konsep cost and benefit.

Lebih lanjut, studi ini juga menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara infrastruktur dan pengumpulan limbah plastik. Hasil ini menunjukkan bahwa pada kota-kota yang telah menerapkan sistem pengumpulan limbah di tepi jalan cenderung rata-rata mengumpulkan lebih banyak limbah kemasan plastik per penduduk dibandingkan dengan kota-kota yang tidak memiliki kebijakan tersebut. 

Selain itu, hasil empiris dari kajian ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah setempat untuk memfasilitasi kegiatan daur ulang dari segi infrastruktur dan logistik akan mendorong penduduknya untuk termotivasi dalam menerapkan kepedulian terhadap lingkungan dalam kaitannya dengan norma perilaku daur ulang yang lebih efektif. Temuan terkait fasilitas dan infrastruktur ini juga selaras dengan temuan pada penelitian-penelitian sebelumnya (Thogersen 1996, 2003; Hage et al., 2009; Abbott et al., 2011).

Apabila ditinjau dari variabel aspek geografis dan demografis, hasil estimasi empirisnya menunjukkan bahwa jarak antara kota-kota ke industri daur ulang plastik tidak memiliki dampak signifikan terhadap tingkat pengumpulan limbah. Hal ini menunjukkan bahwa faktor geografis, seperti halnya aksesibilitas ke fasilitas daur ulang, tidak selalu berdampak pada tingkat pengumpulan sampah atau proses daur ulang limbah rumah tangga secara langsung. 

Selain itu, apabila ditinjau dari segi variabel aspek geografis, yaitu urbanisasi, temuan empiris dari studi ini juga tidak menunjukkan adanya dampak signifikan secara statistik terhadap proses daur ulang limbah plastik. Meskipun secara hipotesis diharapkan bahwa wilayah-wilayah dengan tingkat urbanisasi yang lebih tinggi akan memiliki jumlah limbah plastik yang lebih tinggi pula, hasilnya justru tidak selaras dengan hipotesis tersebut. 

Dalam kaitannya dengan urbanisasi, daerah yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi tidak selalu menghasilkan jumlah limbah plastik yang terkumpul dalam skala besar pula. Hal ini mungkin disebabkan oleh para pendatang atau imigran harus mempelajari dan menyesuaikan kebijakan pengumpulan limbah plastik yang ada di Swedia sehingga hasilnya menunjukkan tidak signifikan. Dalam konteks ini, para imigran kemudian akan melakukan penyesuaian terkait pendaurulangan limbah plastik rumah tangga seperti orang Swedia pada umumnya sehingga jumlah limbah plastik yang dikumpulkan oleh pemerintah setempat juga berkurang (Hage dan Söderholm, 2008). 

Pada aspek variabel demografis dari sisi kepadatan penduduk yang diukur sebagai total populasi dibagi dengan luas wilayah kota menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengumpulan limbah plastik. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan penduduk tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas pengumpulan limbah. Beberapa variabel demografis, seperti usia rata-rata, pendapatan rata-rata, tingkat pendidikan, dan tingkat pengangguran, juga dipertimbangkan. Namun, hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang berkaitan dengan sosial ekonomi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengumpulan limbah plastik.

Meskipun variabel geografis dan demografis seperti jarak ke industri daur ulang, tingkat urbanisasi, dan kepadatan penduduk tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, hasil dari paper ini mengindikasikan bahwa efektivitas kebijakan pemerintah dalam pengelolaan limbah di tingkat daerah sangat penting untuk meningkatkan pengumpulan limbah plastik, utamanya untuk peningkatan motivasi masyarakat dalam menerapkan perilaku daur ulang sampah plastik. 

4. Simpulan

Studi yang diterbitkan pada oleh Springer ini menyoroti faktor penentu heterogenitas antarkota dalam pengumpulan limbah kemasan plastik rumah tangga di Swedia. Penelitian yang menggunakan analisis ekonometrika spasial ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi spasial pada data yang digunakan sehingga perlu dilakukan penyesuaian untuk meminimalisir dampak dari adanya heterokedastisitas yang dapat menghasilkan estimasi empiris yang cukup kuat.

Berangkat dari pemetaan hasil analisis, kajian ini kemudian menyimpulkan bahwa wilayah kota yang memiliki tingkat pengumpulan limbah plastik dalam jumlah atau skala besar akan dikelilingi atau berdekatan oleh wilayah kota yang memiliki tingkat pengumpulan limbah plastik dalam skala yang rendah. Parameter lag spasial pengumpulan kemasan plastik rumah tangga per kapita memiliki hubungan positif dengan rata-rata tertimbang spasial pengumpulan per kapita di kota tetangga. Dengan kata lain, probabilitas pengumpulan limbah plastik kemasan di suatu daerah akan meningkat jika daerah tetangganya mengumpulkan kemasan plastik rumah tangga dalam jumlah yang cukup tinggi pula.

Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan limbah, seperti halnya penerapan biaya pengolahan limbah plastik yang berbasis berat dan keberadaan fasilitas akan berkontribusi positif untuk meningkatkan perilaku daur ulang dan pengelolaan sampah rumah tangga. Selain itu, paper ini juga mencatat bahwa walaupun faktor geografis dan demografis diasumsikan akan memiliki keterkaitan dengan tingkat pengumpulan limbah dan perilaku daur ulang, hasilnya menunjukkan bahwa aspek kebijakan tingkat pemerintah setempat atau lokal yang akan lebih berperan dalam meningkatkan efektivitas pengumpulan limbah plastik apabila dibandingkan dengan faktor geografis dan demografis lainnya,—seperti halnya usia, pendapatan, dan urbanisasi.


Disc: SpaRSE’s SEEDs (Spatial & Regional Economics Digest for Sustainability) merupakan telaah literatur yang terkait dengan ekonomika spasial dan keterkaitannya dengan tujuan-tujuan dari pembangunan yang berkelanjutan (Sustainabble Development Goals/SDGs)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Accessibility Toolbar