n SpaRSE FEB UGM - SpaRSE FEB UGM SpaRSE FEB UGM - n

Pembangunan Berkelanjutan yang Kompleks: Fokus pada Sumber Daya, Ekonomi, dan Inovasi

Resensi Jurnal

OlehGabriel Ivo Aveliano Kusuma Adi Valentino

Referensi

Adnan Safi, Xin Wei, Eduard Montesinos Sansaloni, Muhammad Umar. “Breaking down the complexity of sustainable development: A focus on resources, economic complexity, and innovation”. Resources Policy 83 (2023). https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2023.103746 

1. Pendahuluan

Pencemaran lingkungan merupakan masalah global yang berdampak buruk pada ekosistem dan kesehatan manusia, termasuk emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Perjanjian Paris telah diadopsi oleh banyak negara untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 2°C di atas level pra-industri namun upaya untuk mencapai target tersebut masih menghadapi tantangan besar. Beberapa negara di dunia juga berjuang untuk memenuhi tujuannya untuk mengurangi perubahan iklim. Akan tetapi, Perjanjian Paris tidak membahas jenis kerusakan lingkungan lainnya. Meskipun ada perbaikan yang dapat dicapai, degradasi lingkungan terus menjadi masalah yang signifikan, dan aktivitas manusia tetap menjadi penyebab utama perubahan iklim. Salah satu tantangan utama adalah agar negara-negara dapat mengurangi emisi karbon dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

1.1 Hubungan CO2 dengan Faktor Produksi dalam Kompleksitas Ekonomi

Struktur produksi setiap negara menentukan teknologi, potensi produksi, dan tren diversifikasinya (Hidalgo et al., 2007). Kompleksitas ekonomi menunjukkan struktur produksi suatu negara. Kompleksitas ekonomi adalah pengetahuan tersembunyi dalam struktur produksi suatu negara (Romero dan Gramkow, 2021). Kompleksitas ekonomi yang mencerminkan tingkat teknologi dan diversifikasi industri suatu negara dapat memiliki dampak yang beragam terhadap lingkungan. Di satu sisi, industri yang lebih maju dapat meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi. Akan tetapi, di sisi lain ekspansi industri yang tidak terkelola dengan baik justru dapat meningkatkan polusi.

1.2 Peran Negara G-7 dalam Ekonomi Global dan Kebijakan Lingkungan

Negara-negara G7 (Group of Seven), yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang dipilih sebagai fokus studi ini karena peran mereka yang sangat signifikan dalam ekonomi global dan kebijakan lingkungan. Sebagai negara maju, G7 memiliki tingkat kompleksitas ekonomi yang tinggi dengan industri yang beragam dan teknologi canggih yang berpotensi mempengaruhi emisi karbon mereka. Akan tetapi, dampak kompleksitas ekonomi terhadap emisi di negara-negara ini masih belum sepenuhnya dipahami, terutama konteks perdagangan dan inovasi hijau. Selain kompleksitas ekonomi, faktor lain seperti inovasi hijau, pajak lingkungan, dan produktivitas energi juga dapat mempengaruhi emisi karbon di negara-negara G7. Meskipun negara-negara ini memiliki kapasitas teknologi tinggi, masih terdapat variasi dalam penerapan kebijakan lingkungan dan investasi dalam teknologi hijau. Beberapa negara lebih agresif dalam mengadopsi kebijakan ramah lingkungan, sementara yang lain masih bergantung pada sumber daya berbasis fosil. Oleh karena itu, memahami bagaimana kompleksitas ekonomi berinteraksi dengan faktor-faktor ini menjadi penting dalam merancang kebijakan yang efektif untuk mengurangi emisi karbon. 

Mempertimbangkan peran negara-negara G7 sebagai pemimpin ekonomi dan inovasi global, studi ini bertujuan untuk memberikan wawasan bagi pembuat kebijakan dalam mengembangkan strategi lingkungan yang lebih komprehensif. Dengan memahami hubungan antara kompleksitas ekonomi dan emisi karbon, negara-negara G7 dapat merancang kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui inovasi dan diversifikasi industri. Analisis yang lebih mendalam diharapkan dapat membantu negara-negara ini dalam mencapai target keberlanjutan yang lebih ambisius sesuai dengan komitmen global, seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.

2. Metodologi

Penelitian sebelumnya telah banyak mengeksplorasi hubungan antara regulasi lingkungan, harga energi, dan pertumbuhan ekonomi terhadap emisi karbon. Akan tetapi, masih sedikit yang meneliti peran kompleksitas ekonomi dan inovasi hijau secara khusus. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara kompleksitas ekonomi dan emisi CO2, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti inovasi hijau dan sumber daya alam. Studi ini menggunakan model ekonometrika yang konsisten dengan penelitian sebelumnya. Model tersebut diformulasikan sebagai berikut: 

dimana CO2 merupakan emisi karbon yang disesuaikan dengan perdagangan, ECI atau economic complexity index merupakan indeks kompleksitas ekonomi, GI atau green innovation merupakan inovasi hijau, NRR atau natural resources rent merupakan pendapatan (sewa) dari sumber daya alam, GDP merupakan indikator pertumbuhan ekonomi, ET dan EP merupakan pajak terkait lingkungan dan produktivitas energi, α1−6 merupakan parameter, dan ε merupakan error term.

Faktor-faktor tersebut dipilih berdasarkan landasan teoritis yang kuat dari penelitian sebelumnya. Akan tetapi, penelitian sebelumnya telah mengabaikan peran ECI dan dampaknya terhadap emisi yang disesuaikan dengan perdagangan. Selain itu, studi ini juga mempertimbangkan produktivitas energi, pajak terkait lingkungan, inovasi teknologi hijau, dan sumber daya alam untuk negara-negara G-7. Studi ini memakai ECI sebab ECI memengaruhi kualitas lingkungan dalam sejumlah cara. Pertama, ekonomi dengan indeks kompleksitas ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki standar hidup yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa negara-negara ini memiliki cadangan yang lebih besar dan industri yang lebih beragam, yang memungkinkan mereka untuk mencurahkan sumber daya tambahan untuk konservasi lingkungan. Kedua, negara-negara dengan kompleksitas ekonomi yang lebih tinggi cenderung menggunakan dana dan perdagangan internasional, yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Terakhir, ekonomi dengan indeks kompleksitas ekonomi yang lebih tinggi cenderung lebih inovatif dan mudah beradaptasi, yang memungkinkan mereka untuk bereaksi terhadap masalah lingkungan secara lebih efektif (Can dan Gozgor, 2017; Martins et al., 2021).

2.1 Metode Moment Quantile Regression

Studi ini juga memakai method of moment quantile regression, milik Machado dan Silva (2019) yang memperluas regresi kuantil tradisional dengan menggabungkan kondisi momen untuk memperkirakan parameter. Metode ini memungkinkan pemodelan kuantil kondisional yang lebih adaptif dan meningkatkan ketahanan estimasi terhadap kemungkinan kesalahan spesifikasi distribusi yang mendasarinya. Berbeda dengan metode CS-ARDL (Cross-Section Augmented Autoregressive Distributed Lag), metode regresi kuantil momen ini berfokus pada estimasi kuantil kondisional alih-alih melihat hubungan jangka panjang. Metode moment quantile regression pada studi ini dijabarkan sebagai berikut.  

dalam persamaan di atas, QY(τ|Rit) adalah kondisi momen untuk kuantil tertentu untuk Yit (CO2), Rit mewakili ECI, GDP, GI, NRR, ET, dan EP. Variabel diambil dalam bentuk logaritma. γiτ=(γi+σiq(τ)) memberikan efek tetap kuantil i individual (τ). Walaupun berguna dalam mengetahui korelasi antara variabel pada kuantil tertentu, pendekatan MMQR tidak secara langsung mengatasi masalah sebab akibat. Sebaliknya, pendekatan ini berkonsentrasi pada pemahaman hubungan antara variabel pada lokasi dan skala tertentu tanpa secara khusus memeriksa arah atau sebab akibat dari hubungan ini. Oleh karena itu, studi ini menggunakan analisis kausalitas Dumitrescu dan Hurlin (2012) untuk menentukan kausalitas antara variabel.

3. Data dan Variabel

Studi ini menggunakan data dari negara-negara G7 (Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang) dengan periode analisis dari tahun 1990 hingga 2020. Sumber data utama yang digunakan meliputi Global Carbon Atlas, OECD Database, dan World Development Indicators dari Bank Dunia.

Studi ini memakai variabel yang dijabarkan sebagai berikut:

  1. Variabel Dependen: Emisi Karbon yang Disesuaikan dengan Perdagangan (CO₂ Trade-adjusted Emissions) yang diukur dalam juta ton setara CO₂ (MtCO₂e). Data diperoleh dari Global Carbon Atlas.
  2. Variabel Independen:
  • Kompleksitas Ekonomi (Economic Complexity Index – ECI)

Mencerminkan tingkat teknologi dan diversifikasi industri suatu negara. Data diambil berdasarkan indeks yang dikembangkan oleh Hausmann et al. (2013).

  • Inovasi Hijau (Green Innovation – GI)

Diukur sebagai persentase pertumbuhan teknologi ramah lingkungan dari total inovasi suatu negara.

  • Pendapatan dari Sumber Daya Alam (Natural Resource Rent – NRR)

Mengacu pada kontribusi pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam terhadap PDB suatu negara. Data diambil dari World Development Indicators (WDI) Bank Dunia.

  • Pajak Lingkungan (Environmental Taxes – ET)

Diukur sebagai persentase pajak lingkungan terhadap PDB suatu negara. Produktivitas Energi (Energy Productivity – EP)

Mengukur efisiensi dalam penggunaan energi dalam aktivitas ekonomi. Data diperoleh dari OECD Database.

  • Pertumbuhan Ekonomi (Gross Domestic Product – GDP)

Diukur menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) riil suatu negara.

4. Temuan

Sebelum dilakukannya analisis method of moment quantile regression (MMQR), studi ini melihat kointegrasi jangka panjang di antara variabel dan analisis normalitas. Pembagian dalam kuantil dalam studi ini dilakukan dengan menangkap heterogenitas hubungan antara kompleksitas ekonomi (ECI) dan emisi karbon (CO₂) di berbagai tingkat emisi. Tidak semua negara memiliki tingkat emisi yang sama, sehingga efek dari kompleksitas ekonomi, inovasi hijau, dan faktor lainnya bisa berbeda antara negara dengan emisi rendah dan tinggi.

Kuantil regresi pada studi ini dapat mengidentifikasi bagaimana hubungan ini berubah di berbagai bagian distribusi emisi karbon, seperti: 

  • Kuantil ke-25: Negara dengan emisi karbon yang lebih rendah.
  • Kuantil ke-50 (Median): Negara dengan emisi karbon sedang.
  • Kuantil ke-75 dan ke-90: Negara dengan emisi karbon yang lebih tinggi.

Studi ini menggunakan dua model regresi kuantil berbasis momen (MMQR) untuk menguji hubungan antara kompleksitas ekonomi (ECI), inovasi hijau (GI), pendapatan dari sumber daya alam (NRR), dan faktor lainnya terhadap emisi karbon (CO₂) di negara-negara G7.

Figur 1. Hasil analisis MMQR Model-1

Sumber: Safi, et al. (2023)

Pada hasil analisis MMQR Model-1, kompleksitas ekonomi (ECI) memiliki dampak negatif signifikan terhadap emisi karbon di semua kuantil, tetapi efeknya lebih kuat di kuantil bawah (-0.0514 di kuantil ke-25 dibandingkan dengan -0.0296 di kuantil ke-90). Artinya, negara dengan emisi karbon lebih rendah lebih merasakan manfaat dari peningkatan kompleksitas ekonomi dibandingkan negara dengan emisi lebih tinggi. 

Figur 2. Hasil analisis MMQR Model-2

Sumber: Safi, et al. (2023)

Pada analisis MMQR Model-2 yang membedakan adanya tambahan pendapatan dari sumber daya alam NRR memiliki efek positif terhadap emisi karbon di kuantil ke-25, tetapi berubah menjadi negatif pada kuantil ke-75 dan ke-90. 

  • Artinya, negara yang masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam mengalami peningkatan emisi karbon.
  • Namun, negara-negara yang lebih maju dalam ekonomi mulai menggunakan pendapatan dari sumber daya alam untuk investasi dalam teknologi hijau dan energi terbarukan, sehingga dampaknya terhadap emisi menjadi negatif.

Hasil dari variabel kompleksitas ekonomi (ECI) dari kedua model memiliki hasil yang sama yaitu dampak negatif signifikan terhadap emisi karbon, tetapi efeknya lebih kuat di negara dengan emisi lebih rendah. Inovasi hijau (GI), pajak lingkungan (ET), dan produktivitas energi (EP) secara konsisten mengurangi emisi karbon, menunjukkan pentingnya kebijakan hijau. Pendapatan dari sumber daya alam (NRR) memiliki efek berbeda tergantung tingkat emisi. Negara dengan emisi lebih rendah masih bergantung pada sumber daya alam dan cenderung meningkatkan emisi karbon. Sementara itu, negara dengan emisi lebih tinggi mulai mengalihkan pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam ke energi hijau, sehingga emisi berkurang. Pada variabel pertumbuhan ekonomi (GDP) selalu meningkatkan emisi karbon, yang berarti diperlukan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Studi ini juga menemukan temuan dari analisis kausalitas yaitu kebijakan apa pun yang menargetkan kompleksitas ekonomi, pajak lingkungan, produktivitas energi, inovasi hijau, dan sewa sumber daya alam akan memengaruhi emisi karbon.

5. Simpulan

Studi ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan dampak kompleksitas ekonomi terhadap emisi karbon dalam rangka pendapatan sumber daya alam dan inovasi hijau bagi ekonomi G-7. Negara-negara G-7 dipilih untuk penelitian ini karena relevansinya di seluruh dunia sebagai negara-negara ekonomi maju utama di dunia yang secara signifikan akan memengaruhi ekonomi global.

Studi ini menunjukkan bahwa kompleksitas ekonomi (ECI) memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap emisi karbon di negara-negara G7, di mana peningkatan kompleksitas ekonomi cenderung mengurangi emisi karbon, terutama pada negara dengan tingkat emisi yang lebih rendah. Inovasi hijau (GI) juga terbukti berperan penting dalam menekan emisi karbon di seluruh kuantil artinya investasi dalam teknologi hijau dan energi terbarukan dapat menjadi strategi efektif dalam mengurangi polusi. Sementara itu, pendapatan dari sumber daya alam (NRR) memiliki dampak yang bervariasi terhadap emisi karbon, di mana negara yang masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam cenderung mengalami peningkatan emisi. Akan tetapi, negara dengan tingkat ekonomi lebih tinggi mulai mengalihkan pendapatan dari sektor ini ke investasi hijau, yang pada akhirnya mengurangi emisi karbon. Faktor lain seperti pajak lingkungan (ET) dan produktivitas energi (EP) terbukti efektif dalam mengurangi emisi, sedangkan pertumbuhan ekonomi (GDP) masih berkorelasi positif dengan peningkatan emisi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tidak adanya kebijakan lingkungan yang ketat, pertumbuhan ekonomi dapat tetap menjadi pendorong utama peningkatan emisi karbon. Dengan demikian, hasil penelitian ini menegaskan bahwa kombinasi dari peningkatan kompleksitas ekonomi, penguatan inovasi hijau, transisi dari eksploitasi sumber daya alam ke investasi hijau, serta penerapan kebijakan lingkungan yang lebih ketat dapat menjadi strategi utama bagi negara-negara G7 dalam mencapai target keberlanjutan dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Negara-negara G7 perlu menerapkan kebijakan yang lebih efektif untuk mengurangi emisi karbon sambil tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Salah satu langkah utama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kompleksitas ekonomi melalui diversifikasi industri. Pemerintah harus mendorong pengembangan sektor industri yang lebih kompleks dan berbasis teknologi tinggi untuk mengurangi ketergantungan pada industri padat karbon. Insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi hijau dan digitalisasi proses produksi juga harus diperkuat. Selain itu, pembangunan ekosistem inovasi yang melibatkan universitas, pusat penelitian, dan sektor industri perlu ditingkatkan agar tercipta lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, peningkatan inovasi hijau juga harus menjadi fokus utama dalam kebijakan lingkungan G7. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mengembangkan atau mengadopsi teknologi ramah lingkungan serta meningkatkan pendanaan untuk penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor energi hijau. Ketergantungan pada eksploitasi sumber daya alam juga perlu dikurangi dengan mengalihkan pendapatan dari sektor ini ke investasi dalam energi terbarukan dan teknologi hijau. Regulasi ketat harus diterapkan untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Peningkatan efisiensi energi dan penerapan pajak lingkungan juga harus menjadi bagian dari strategi kebijakan lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Accessibility Toolbar