Menilik Konsep Keberlanjutan: Urgensi Menyeimbangan Aspek Lingkungan, Sosial & Ekonomi

Oleh

Rohinun

“Healthy and sustainable societies are based on three pillars: peace and security, sustainable development, the rule of law and respect for human rights. There can be no long-term security without development; there can be no long-term development without security, and no society can long remain prosperous without the rule of law and respect for human rights.” – Kofi Annan, Article in the UN Chronicle, 2015

Sustainability atau keberlanjutan telah menjadi isu penting dalam beberapa dekade terakhir. Dalam kaitannya, kesadaran akan dampak pembangunan terhadap lingkungan dan kebutuhan untuk melindungi sumber daya alam juga semakin berkembang.

Adapun secara historis, konsep keberlanjutan ini sendiri pertama kalinya diperkenalkan secara formal oleh Komisi Brundtland Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1987 melalui laporannya yang berjudul “Our Common Future.”  Dalam laporan tersebut, keberlanjutan didefinisikan sebagai upaya “memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan hak generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.” Pendefinisian ini kemudian menyiratkan bahwa diperlukan berbagai upaya pelestarian untuk mencegah keruntuhan ekonomi dan sosial bagi generasi mendatang. 

Tiga Dimensi dalam Keberlanjutan

Keberlanjutan mengintegrasikan tiga dimensi, yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dimensi ekonomi menentukan kerangka pengambilan keputusan dan aliran modal. Dimensi ini berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yakni pertumbuhan ekonomi yang tidak menguras sumber daya alam dan tidak membahayakan lingkungan. 

Selanjutnya, dimensi lingkungan mengakui keragaman ekosistem dan dampak limbah yang dihasilkan manusia. Dimensi ini berfokus pada pelestarian lingkungan, yang berarti melindungi sumber daya alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Adapun dimensi sosial mencakup interaksi antara lembaga dan masyarakat, nilai kemanusiaan, aspirasi, serta masalah etika dalam pengambilan keputusan kolektif. Dimensi ini berfokus pada keadilan sosial, yang berarti memastikan bahwa semua orang memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan kesempatan. 

Persinggungan antara elemen sosial dan ekonomi dapat menjadi dasar bagi pencapaian keadilan sosial. Sementara itu, sistem tata kelola yang mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan akan membentuk viabilitas atau kelayakan. Di antara lingkungan dan aspek sosial, terdapat pula konsep yang disebut sebagai bearable atau tertahankan, yang mengakui pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan.

Adapun konsep keberlanjutan sendiri terletak pada persimpangan ketiganya yang menandakan bahwa upaya untuk mencapai keberlanjutan memerlukan integrasi yang holistik dari ketiga dimensi tersebut.

Keterkaitan Antara Berbagai Paradigma Keberlanjutan

Sumber: International Union for the Conservation of Nature

Tantangan terkait Keberlanjutan

Ketiga elemen keberlanjutan seringkali dipandang memiliki tingkat urgensi atau prioritas yang sama sehingga terkadang terjadi trade-off atau diperlukan pengorbanan di salah satu elemen untuk mencapai kemajuan di elemen lain. Sebagai contoh, untuk membangun infrastruktur guna pengembangan sistem perdagangan dan produksi pangan akan memerlukan pengalihan dari sebagian lahan hutan. Oleh karena itu, penentuan tindakan atas trade-off diantara berbagai elemen pun menjadi salah satu tantangan penting dalam aspek keberlanjutan. 

Dalam konteks ini, kita dapat meninjaunya dari dua konsep keberlanjutan, yakni strong sustainability dan weak sustainability. Strong sustainability merupakan suatu konsep yang membatasi trade-off antarelemen. Sementara itu, weak sustainability tidak menerapkan batasan tersebut. Secara ideal, penerapan strong sustainability lebih tepat untuk dilakukan. Namun dalam praktiknya, weak sustainability lebih mudah dan praktikal untuk dilakukan. 

Selain trade-off antarelemen, proses pengukuran keberlanjutan juga sebuah tantangan. Dalam konteks ini, penentuan metrik yang tepat untuk mengukur berbagai aspek keberlanjutan, seperti haknya kesehatan ekosistem, kesejahteraan manusia, dan keadilan sosial menjadi suatu aspek yang krusial. Interpretasi data yang diperoleh juga harus dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan berbagai tujuan dari paradigma keberlanjutan.

Evolusi Keberlanjutan di Skala Internasional

Mencapai keberlanjutan tidak mudah. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dan kerja sama semua pihak. Bentuk kerja sama ini pertama kali dilakukan pada tahun 1992, dengan diadakannya Konferensi Rio yang menghasilkan Agenda 21, sebuah rencana aksi global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Agenda 21 menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan kerjasama internasional dalam mengatasi berbagai isu global, seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan degradasi lingkungan. 

Komitmen untuk bekerja sama mencapai keberlanjutan semakin menguat hingga pada tahun 2000 diluncurkan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), yakni delapan tujuan global untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit. Guna memperluas cakupan dan memperkuat aksi, pada tahun 2015, PBB meluncurkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs), 17 tujuan yang lebih komprehensif dan ambisius untuk mencapai keberlanjutan global. SDGs mencakup berbagai isu, seperti kemiskinan, kelaparan, kesehatan, pendidikan, perubahan iklim, dan kesetaraan gender.

Pada tahun yang sama, melalui Konferensi COP 21 Paris di bawah naungan Dewan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), pimpinan dari berbagai negara berdiskusi dan bernegosiasi mengenai kondisi iklim dunia yang semakin memburuk. Konferensi ini kemudian melahirkan rancangan perjanjian internasional yang dinamakan Paris Agreement yang diadopsi oleh hampir 200 negara di dunia. Berikut beberapa poin penting dari perjanjian ini.

Pertama, Perjanjian Paris bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global jangka panjang minimal 1,5 derajat Celcius, dan idealnya di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan dengan tingkat pra-industri. Caranya sendiri ialah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa untuk mencapai net zero emission. Kedua, setiap negara diwajibkan untuk memiliki dan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca yang disebut Nationally Determined Contribution (NDC) yang akan ditinjau setiap lima tahun sekali untuk meningkatkan ambisi dalam memerangi perubahan iklim. Ketiga, negara-negara maju berkomitmen untuk membantu negara miskin dalam pendanaan dan pembiayaan iklim, yakni meliputi aspek transfer teknologi, pengembangan energi terbarukan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Evolusi Keberlanjutan di Skala Nasional

Kesadaran akan pentingnya isu ini mulai muncul di konteks global pada periode 1970-an (Wu et al, 2014) dan tidak terkecuali di Indonesia. Sejak saat itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan suatu konsep pembangunan yang bersifat keberlanjutan.

Salah satu bentuk penguatan komitmen terhadap keberlanjutan ditandai dengan ditetapkannya strategi Nasional Keanekaragaman Hayati Indonesia (2003) untuk melindungi keanekaragaman hayati. Upaya untuk memerangi perubahan iklim juga diintensifkan dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011. Rencana aksi tersebut sendiri merupakan bentuk tindak lanjut pemerintah dari pemberlakuan kesepakatan Bali Action Plan pada COP UNFCCC ke-13 yang diadakan di Bali pada tahun 2007.

Pada tahun yang sama, disahkan pula Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Lestari mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, Indonesia juga turut berkomitmen untuk mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2015. SDGs menjadi fokus utama dalam agenda pembangunan nasional, terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Sudah Sejauh Mana Capaian Indonesia?

Salah satu platform yang menggambarkan tingkat kemajuan dari 17 indikator utama SDGs adalah Sustainable Development Report. Mengacu pada laporan tersebut untuk tahun 2023, Indonesia terletak di peringkat 75 dari 166 yurisdiksi dengan skor 70,2 berdasarkan indeks SDGs. Kemajuan yang berarti dari berbagai capaian tersebut berhasil dicapai indonesia untuk indikator SDGs 1 (pengentasan kemiskinan), SDGs 4 (pendidikan berkualitas), serta SDGs 6 (air bersih dan sanitasi layak).

Adapun indikator yang menunjukkan adanya tren kemajuan secara moderat ialah SDGs 3 (kehidupan sehat dan sejahtera), SDGs 5 (kesetaraan gender), SDGs 8 (pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang diiringi pekerjaan yang layak), SDGs 9 (industri, inovasi, dan infrastruktur), SDGs 10 (berkurangnya kesenjangan), dan SDGs 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab).

Akan tetapi, terdapat pula beberapa indikator SDGs yang mana tingkat kemajuannya mengalami stagnasi di Indonesia pada tahun 2023, yaitu SDGs 2 (pengentasan kelaparan), SDGs 7 (energi bersih dan terjangkau), SDGs 11 (kota dan pemukiman yang berkelanjutan), SDGs 13 (penanganan perubahan iklim), SDGs 14 dan 15 (keberlanjutan ekosistem di lautan dan daratan), SDGs 16 (perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh), serta SDGs 17 (kemitraan untuk mencapai tujuan).

Secara lebih spesifik, pemerintah Republik Indonesia sendiri telah menyiapkan platform dashboard yang menunjukkan indikator capaian dari SDGs. Indikator capaian SDGs tersbut kemudian diselaraskan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 yang dijabarkan dalam 7 Prioritas Nasional (PN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 52  Tahun 2023 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 s.t.d.d. Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2023 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024

Tujuh prioritas nasional tersebut mencakup PN 1: Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan Berkualitas dan Berkeadilan; PN 2: Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan; PN 3: Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing; PN 4: Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan; PN 5: Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar; PN 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim; PN 7: Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transformasi Pelayanan Publik.

Adapun per kuartal pertama tahun 2024 mengacu pada data terkini di Dashboard SDGs Indonesia, rata-rata capaian tertinggi diraih oleh indikator-indikator  untuk PN 7 dan PN 5 dengan capaian indikator yang berkisar 60% hingga 70%. Sementara itu, indikator lainnya berada di kisaran capaian 20%.

Apabila dicermati dari data-data indikator di atas maka dapat dikatakan bahwa Indonesia memandang pencapaian pembangunan berkelanjutan sebagai suatu hal yang penting. Namun demikian, terdapat beberapa ‘pekerjaan rumah’ yang masih harus diperbaiki, utamanya untuk indikator yang terkait dengan lingkungan hidup.

Referensi

Republik Indonesia, BAPPENAS, BPS Rrepublik Indonesia, PBB, UNICEF. “Dashboard SDGs.” SDGs Dashboard, Internet, dapat diakses melalui: sdgs.bappenas.go.id/dashboard/

Sachs, J.D., Lafortune, G., Fuller, G., Drumm, E. (2023). Implementing the SDG Stimulus. Sustainable Development Report 2023. Paris: SDSN, Dublin: Dublin University Press, 2023. 10.25546/102924

Heinberg, Richard. The Post Carbon Reader Series: Foundation Concepts What Is Sustainability? 2010, cdn.auckland.ac.nz/assets/arts/documents/What%20is%20Sustainability.pdf.

Theis, T. L., & Tomkin, J. (2018). Sustainability: A Comprehensive Foundation (Amerika Serikat: 12th Media Services)

United Nations Climate Change. “The Paris Agreement.” Unfccc.int, 2023. Internet, dapat diakses melalui: unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement

United Nations World Commission on Environment and Development (known as the Brundtland Commission), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), http://www.un-documents.net/wced-ocf.htm.

United Nations. “The 17 Goals | Sustainable Development.” Internet, dapat diakses melalui sdgs.un.org/goals.

Wu, J. G., Guo, X. C., Yang, J., Qian, G. X., Niu, J. M., Liang, C. Z., Zhang, Q., & Li, A. (2014). “What is Sustainability Science,” The Journal of Applied Ecology, 25(1), 1–11.

Incoming search terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Accessibility Toolbar